Minggu, 04 Januari 2009

KEKERASAN TERHADAP WANITA

KEKERASAN TERHADAP WANITA

Oleh: Dyah Permatasari M2A005022

Keluhan perempuan tentang kekerasan belakangan ini mulai banyak diperbincangkan baik melalui media masa, media elektronik maupun melalui seminar atau show-talk show. Memang belum semua terungkap, karena kondisi kekerasan terhadap perempuan dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Alasan klasik bahwa dengan mengungkapkan penderitaannya dianggap akan membuka aib keluarga/dirinya sendiri, memilih diam lebih banyak dipakai oleh kebanyakan perempuan di negara kita ini. Dalam kenyataannya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia telah menunjukkan fenomena yang mencemaskan, walaupun nampak luar seperti ’damai’, namun data menunjukkan bahwa korban kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dari waktu ke waktu (Rismiyati E. K. 2005, dalam Jurnal Psikologi, 15, 1, 94).

Berita mengenai kekerasan terhadap istri di antaranya dapat dibaca dalam judul-judul berita di koran, seperti ”Aniaya Istri Dilaporkan Polisi” (Kedaulatan Rakyat, 11-2-2004); ”Tersangka Pembakaran Istri, Stress” (Kedaulatan Rakyat, 12-2-2004); Hamil 5 Bulan, Emi Ditikam Suami” (Kedaulatan Rakyat, 16-2-2004). Selain itu berita Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (MENEG PP) menyebutkan bahwa 50% perempuan menikah lulusan SD di pedesaan cenderung menerima kekerasan berupa pemukulan dari suami mereka, dengan salah satu alasan dari menghanguskan makanan, bertengkar dengan suami, pergi tanpa ijin suami, menelantarkan anak-anak, menolak hubungan seks dengan suami, (www. menegpp.go.id, 06-02-2004) (Qurotul Uyun. 2003, dalam Psikologika, 16, 5).

World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40 hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Laporan Khusus dari PBB mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai jender sebagai ”kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap perempuan dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada perempuan dalam lingkup rumah tangga,” (www.jurnalhukum.blogspot.com, diambil pada tanggal 23 April 2008).

Hidup dalam sebuah hubungan yang dipenuhi kekerasan (abusive relationship) merupakan kehidupan yang sulit bagi banyak wanita. Tidak hanya menderita efek psikologis yang ekstrim dari tindak kekerasan (misalnya battered woman syndrome) (Walker 1979), tapi juga berbagai hambatan struktural yang membatasi pilihan wanita (Leonard 2002; Browne 1987; Busch 1999). Wanita yang menderita (Battered women) rata-rata telah mencoba lima sampai tujuh jalan keluar sebelum mereka berhasil meninggalkan hubungan yang dipenuhi kekerasan (abusive relationship) (Ferraro, 1998). Namun ada pula beberapa wanita yang tidak berhasil untuk meninggalkan pasangannya (violent partners) (Rachel Zimmer S. 2006, dalam Battered Women and Violent Crime: An Exploration of Imprisoned Women Before and After the Clemency Movement. Dissertation. hal.1).

Kekerasan terhadap perempuan oleh pasangannya merupakan salah satu kekerasan terbesar dan paling luas dibandingkan kekerasan jenis lain. Ironisnya, kekerasan jenis ini adalah kekerasan yang paling tidak mendapat perhatian. Selama ini perhatian kekerasan terhadap perempuan tercurah pada kekerasan di ranah publik. Padahal data menunjukkan bahwa 1 diantara 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan, dan sebagian terbesar kekerasan itu terjadi dalam rumah tangga (www.smartpsikologi.blogspot.com, diambil pada tanggal 23 April 2008). Para pelaku kekerasan (abusers) datang/hadir dalam semua bentuk dan ukuran. Mereka tidak hanya terdiri dari pria yang berada pada daerah urban yang miskin, tapi juga terdiri dari para profesional dan sangat dihormati di masyarakat (Amanda K. Ayers. 2003, dalam Women, Environment, and Healing: A Battered Women’s Shelter. Thesis. hal.3).

Pada tahun 2000, kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 persen dari total penduduk Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan. Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan di ranah domestik atau kekerasan dalam rumah tangga seperti penganiayaan, perkosaan, pelecehan, atau suami berselingkuh.

Catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2005 tentang kekerasan terhadap perempuan meningkat dari tahun 2001 sebanyak 3.169, tahun 2002 sebanyak 5.163, tahun 2003 sebanyak 7.787, tahun 2004 sebanyak 13.968. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KNAP) membagi kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tempat kejadian sepanjang tahun 2004, yaitu rumah tangga sebanyak 6.634 (47,3%), komunitas sebanyak 2.160 (17,6%), oleh negara sebanyak 302 (2,1%), perdagangan manusia sebanyak 562 (4%) dan rumah tangga/komunitas sebanyak 4.310 (30,7%) (Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, h.226).

PBB dalam laporan tentang keadaan penduduk dunia tahun 2000 yang diterbitkan oleh UNPF atau Dana Kependudukan PBB berjudul Lives Together, Worlds Apart-State of World Population 2000, mencatat bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan atau pemukulan. Sebanyak dua juta gadis dipaksa memasuki dunia pelacuran setiap tahunnya. Sekitar 5 ribu wanita setiap tahunnya menjadi korban apa yang disebut “honor killing” atau pembunuhan atas nama membela martabat keluarga. Dan 4 juta perempuan atau gadis dijual-belikan baik untuk perkawinan, pelacuran, atau perbudakan.

Dari pemetaan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, diketahui bahwa pengalaman kekerasan perempuan Indonesia sangat masif penyebarannya dan mengambil bentuk yang beragam. Kekerasan tersebut terjadi baik di dalam keluarga, di tengah masyarakat maupun dalam kondisi khusus seperti konflik dan wilayah pengungsian, serta sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari kebijakan negara. Korban kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mengalami penderitaan fisik, psikologis atau seksual, tetapi juga terampas kemerdekaan dan teraniaya kemanusiaannya. Bentuk kekerasan tersebut dapat diidentifikasi bukan hanya kekerasan fisik, tapi bisa berbentuk sangat halus dan tidak kasat mata seperti kecaman, kata-kata yang meremehkan dan sebagainya (www.indomedia.com, diambil pada 16 April 2008).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Ketua LSM Mitra Perempuan, Rita Serena Kolibonso, di Jakarta, Kamis (28/12/2006) menyatakan Mitra Perempuan menemukan bahwa kebanyakan dari pelaku kekerasan adalah suami, mantan suami, orang tua atau mertua. Mitra Perempuan juga menemukan, 9 dari 10 perempuan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Yang paling banyak adalah kekerasan fisik. Sisanya kekerasan psikis, seksual, penelantaran dalam rumah tangga, dan penelantaran ekonomi. Akibat dari kekerasan tersebut 9 dari 10 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Bahkan 18 orang pernah mencoba bunuh diri. "Ada juga yang kesehatan reproduksinya terganggu," katanya (www.tempointeraktif.com, diambil pada tanggal 23 April 2008).

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), menyebutkan ada 83 kasus kekerasan dalam rumah tangga selama empat bulan pertama 2007 di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sebagian besar kasus itu merupakan kekerasan suami terhadap istri. LBH APIK mancatat para korban perempuan itu antara lain mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi (tidak dinafkahi, diperas), seksual, atau bahkan kombinasi di antaranya (www.tempointeraktif.com, diambil pada tanggal 16 April 2008).

Leonard (2002), dalam interviewnya dengan battered woman yang dipenjara setelah membunuh pasangannya (violent partners), menemukan bahwa mereka telah mencoba berbagai jalan untuk mendapatkan pertolongan. Bahkan banyak diantara mereka yang telah mencoba untuk dapat bercerai. Usaha mereka untuk meninggalkan atau mendapatkan pertolongan ini telah membuat pasangannya (violent partners) menjadi lebih kejam (Rachel Zimmer S. 2006, dalam Battered Women and Violent Crime: An Exploration of Imprisoned Women Before and After the Clemency Movement. Dissertation. hal.1).

Sebagai hasil dari teror yang dialaminya, para korban mempunyai harga diri (self-esteem) yang rendah dan dengan sepenuh hati menerima tanggung jawab penuh atas terjadinya tindak kekerasan tersebut. Perempuan yang menderita secara khas merasa bersalah, berpikir bahwa dia adalah alasan hubungan tidak terjalin dengan baik, serta menyangkal perasaan takut dan marah yang sebenarnya merupakan hal yang wajar dia miliki. Berkali-kali, korban memperingan keadaan kekerasan (abuse) dengan mengatakan, "Hal ini bukan sesuatu yang buruk," atau, "Ia hanya sesekali memukul aku". Korban menyalahkan dirinya dengan menganggap bahwa dirinya tidak bisa menjadi wanita yang dinginkan oleh pelaku yang dapat membuat pelaku bahagia dan menghentikan tindak kekerasannya (battering) (Amanda K. Ayers. 2003, dalam Women, Environment, and Healing: A Battered Women’s Shelter. Thesis. hal.4-5). Sebagian perempuan juga menunjukan reaksi diam saja karena merasa tidak berdaya, sehingga bersikap memperbolehkan atau memaklumi tindakan suaminya (Erni Sulastri dan Sofia Retnowati, dalam Psikologika, 16, 31).

Nevid dkk. (1997) juga menambahkan bahwa ada sejumlah harapan yang ditumpukan kepada wanita, yaitu bahwa secara kultural wanita diharapkan untuk mengorbankan dirinya demi keutuhan rumah tangga, serta menjaga anak-anak dari perasaan tidak aman. Permasalahan ini sering membuat wanita harus selalu menerima terhadap tindak kekerasan suaminya (Qurotul Uyun. 2003, dalam Psikologika, 16, 7).

Dampak kekerasan suami terhadap istri dapat berupa sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, rasa tidak berdaya, ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, stress pasca trauma, depresi, dan dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri (www.e-psikologi.com, diambil pada tanggal 23 April 2008). Leonore Walker (1979) menggunakan istilah sindrom perempuan yang mengalami kekerasan (battered woman syndrome) untuk menerangkan efek traumatik dari kekerasan, mencakup perasaan tak tertolong dan rusaknya kemampuan penguasaan yang membuatnya sulit untuk meninggalkan pelaku kekerasan dan menetapkan hidup baru bagi diri sendiri (Psikologi Abnormal Jilid 2, 2005).

Kekerasan di antara pasangan memiliki dampak emosional langsung bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk trauma lain, karena pelaku kekerasan adalah seseorang yang dipercayai dan dicintai oleh sang perempuan, dengan siapa ia butuh meneruskan hubungan, terutama bila ada anak-anak. Penghianatan terhadap kepercayaan dapat meningkatkan reaksi-reaksi emosional perempuan, dan selanjutnya merusak kemampuan coping-nya (Psikologi Abnormal Jilid 2, 2005). Para korban membutuhkan perlindungan secara fisik, pendapatan, dan sebuah sistem perlindungan yang dapat dipercaya.



DAFTAR PUSTAKA


Ayers. Amanda K. 2003. Women, Environment, and Healing: A Battered Women’s Shelter. Thesis.


Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene. B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid II. Jakarta: Erlangga.


Qurotul Uyun. 2003. Prevensi Terhadap Kekerasan Berbasis Gender. Psikologika, 16, 7.


Erni Sulastri., Sofia Retnowati. 2003. Studi Eksploratif Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Psikologika, 16, 31.


Rismiyati E. K. 2005. Kekerasan Terhadap Perempuan Suatu Renungan. Jurnal Psikologi, 15, 1, 97.


Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=475

http://www.indomedia.com/sripo/2002/09/28/2809op1.html

http://www.indomedia.com/bernas/9810/22/UTAMA/22lom.htm

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/12/28/brk,20061228-90190,id.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/13/brk,20070513-99962.id.html

http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/11/kekerasan-dalam-rumah-tangga.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar